AYUH KE DEMONSTRASI SEPERTI BERIKUT:
SELASA
30 DISEMBER 2008
11 PAGI
DI HADAPAN KEDUTAAN AMERIKA SYARIKAT,
KUALA LUMPUR
Dengan Nama Allah Yang Maha Pemurah dan Mengasihani.
Semoga jamaah Haji Malaysia yang telah, sedang dan akan pergi Makkah dan Madinah menjadikan dialog di bawah sebagai pegangan dalam mengerjakan haji musim ini. Sementara diriku bertekad untuk berusaha sekeras mungkin memperdalamkan Ilmu Islam dan semoga diberi kesempatan sekali lagi oleh Allah swt untuk mengerjakan haji seperti yang digambarkan oleh cicit Junjungan Besar Rasulullah saw, kerana ia terlalu amat jauh dari apa yang telah dikerjakan sebelum ini. Ampunkan dosaku ya Rabb........... aku tidak berjumpa dailog dibawah sebelum ini. Ameen.
Dialog ini terjadi antara cicit Rasulullah saw, Ali Zainal Abidin ra. dengan Asy-Syibli. Asy-Syibli adalah seorang ulama sufi besar dan terkenal hingga sekarang, khususnya di kalangan para sufi. cicit Rasulullah sawAli Zainal Abidin ra. adalah putera Husein cucu Rasulullah saw. Dialog ini di terjemahkan dari kitab Al-Mustadrak. Berikut ini dialognya:
Saat pulang ke Madinah usai menunaikan ibadah haji, Asy-Syibli datang kepada gurunya Ali Zainal Abidin (ra) untuk menyampaikan pengalamannya selama menunaikan ibadah haji. Dalam pertemuan itu terjadilah dialog antara seorang guru dengan muridnya.
Ali Zainal Abidin (sa): Wahai Syibli, Anda sudah menunaikan ibadah haji?
Asy-Syibli: Ya, sudah yabna Rasulillah (wahai putra Rasulillah)
Ali Zainal Abidin (sa): Apakah Anda sudah berhenti miqat, kemudian menanggalkan semua pakaian terjahit yang dilarang bagi orang yang menunaikan ibadah haji, kemudian Anda mandi sunnah untuk memakai baju ihram?
Asy-Syibli: Ya, semua sudah saya lakukan.
Ali Zainal Abidin (sa): Apakah ketika berhenti di miqat Anda menguatkan niat, dan menanggalkan semua pakaian maksiat kemudian menggantinya dengan pakaian ketaatan?
Asy-Syibli: Tidak.
Ali Zainal Abidin (sa): Pada saat Anda menanggalkan pakaian yang terlarang itu apakah Anda sudah menghilangkan perasaan riya’, munafik, dan semua subhat (yang diragukan hukumnya).
Asy-Syibli: Tidak.
Ali Zainal Abidin (sa): Ketika Anda mandi sunnah dan membersihkan diri sebelum memakai pakaian ihram, apakah Anda juga berniat membersihkan diri dari segala macam noda-noda dosa?
Asy-Syibli: Tidak.
Ali Zainal Abidin (sa): Jika demikian, Anda belum berhenti miqat, belum menanggalkan pakaian yang terjahit, dan belum mandi membersihkan diri.
Ali Zainal Abidin (sa): Ketika Anda mandi, berihram dan mengucapkan niat untuk memasuki ibadah haji, apakah Anda sudah menguatkan niat dan tekad hendak membersihkan diri dan mensucikannya dengan pancaran cahaya taubat dengan niat yang tulus karena Allah swt?
Asy-Syibli: Tidak.
Ali Zainal Abidin (sa): Apakah pada saat memakai baju ihram Anda berniat untuk menjauhkan diri dari segala yang diharamkan oleh Allah Azza wa Jalla.
Asy-Syibli: Tidak.
Ali Zainal Abidin (ra): Apakah ketika berada dalam ibadah haji yang terikat dengan ketentuan-ketentuan haji, Anda telah melepaskan diri dari segala ikatan duniawi dan hanya mengikatkan diri dengan Allah swt?
Asy-Syibli: Tidak.
Ali Zainal Abidin (sa): Kalau begitu, Anda belum membersihkan diri, belum berihram, dan belum mengikat diri Anda dalam menunaikan ibadah haji.
Ali Zainal Abidin (sa): Bukankah Anda telah memasuki miqat, shalat ihram dua rakaat, kemudian mengucapkan talbiyah?
Asy-Syibli: Ya, semua itu sudah saya lakukan.
Ali Zainal Abidin (sa): Ketika memasuki miqat apakah Anda berniat akan melakukan ziarah untuk mencari ridha Allah swt?
Asy-Syibli: Tidak.
Ali Zainal Abidin (sa): Pada saat melaksanakan shalat ihram dua rakaat, apakah Anda berniat untuk mendekatkan diri kepada Allah swt dengan tekad akan memperbanyak shalat sunnah yang sangat tinggi nilainya?
Asy-Syibli: Tidak.
Ali Zainal Abidin (sa): Jika demikian, Anda belum memasuki miqat, belum mengucapkan talbiyah, dan belum menunaikan shalat ihram dua rakaat.
Ali Zainal Abidin (sa): Apakah Anda telah memasuki Masjidil Haram, memandang Ka’bah dan melakukan shalat disana?
Asy-Syibli: Ya, semua sudah saya lakukan.
Ali Zainal Abidin (sa): Pada saat memasuki Masjidil Haram, apakah Anda bertekad untuk mengharamkan diri Anda dari mengunjing orang-orang Islam?
Asy-Syibli: Tidak.
Ali Zainal Abidin (sa): Ketika sampai di kota Mekkah, apakah Anda menguatkan keyakinan bahwa hanya Allah-lah tujuan hidup?
Asy-Syibli: Tidak
Ali Zainal Abidin (sa): Jika demikian, Anda belum memasuki Masjidil Haram, belum memandang Ka’bah, dan belum melakukan shalat di dekat Ka’bah.
Ali Zainal Abidin (sa): Apakah Anda sudah melakukan thawaf, dan sudah menyentuh sudut-sudut Ka’bah?
Asy-Syibli: Ya, saya sudah melakukan thawaf.
Ali Zainal Abidin (sa): Ketika thawaf, apakah Anda berniat untuk lari menuju ridha Allah Yang Maha Mengetahui segala sesuatu?
Asy-Syibli: Tidak.
Ali Zainal Abidin (sa): Jika demikian, Anda belum melakukan thawaf, dan belum menyentuh sudut-sudut Ka’bah.
Ali Zainal Abidin (sa): Apakah Anda sudah berjabatan tangan dengan hajar Aswad, dan melakukan shalat sunnah di dekat Maqam Ibrahim?
Asy-Syibli: Ya, saya sudah melakukannya.
Ali Zainal Abidin (sa): Mendengar jawaban Asy-Syibli, Ali Zainal Abidin (ra) menangis dan memandangnya seraya berkata:
“Ya sungguh benar, barangsiapa yang berjabatan tangan dengan Hajar Aswad, ia telah berjabatan tangan dengan Allah. Karena itu, ingatlah baik-baik wahai manusia, janganlah sekali-kali kalian berbuat sesuatu yang menghinakan martabatmu, jangan menjatuhkan kehormatanmu dengan perbuatan durhaka dan maksiat kepada Allah Azza wa Jalla, jangan melakukan apa saja yang diharamkan oleh Allah swt sebagaimana yang dilakukan orang-orang yang bergelimang dosa.
Ali Zainal Abidin (sa): Ketika berdiri di Maqam Ibrahim, apakah Anda menguatkan tekad untuk berdiri di jalan kebenaran dan ketaatan kepada Allah swt, dan bertekad untuk meninggalkan semua maksiat?
Asy-Syibli: Tidak, saat itu tekad tersebut belum ku sebutkan dalam niatku.
Ali Zainal Abidin (sa): Ketika melakukan shalat dua rakaat di dekat Maqam Ibrahim, apakah Anda berniat untuk mengikuti jejak Nabi Ibrahim (sa), dalam shalat ibadahnya, dan kegigihannya dalam menentang bisikansetan.
Asy-Syibli: Tidak.
Ali Zainal Abidin (sa): Kalau begitu, Anda belum berjabatan tangan dengan Hajar Aswad, belum berdiri di Maqam Ibrahim, dan belum melakukan shalat di dekat Maqam Ibrahim.
Ali Zainal Abidin (sa): Apakah Anda sudah memperhatikan sumur air Zamzam dan minum airnya?
Asy-Syibli: Ya, saya sudah melakukannya.
Ali Zainal Abidin (sa): Ketika memperhatikan sumur itu, apakah Anda mencurahkan semua perhatian untuk mematuhi semua perintah Allah. Dan apakah saat itu Anda berniat untuk memejamkan mata dari segala kemaksiatan.
Asy-Syibli: Tidak.
Ali Zainal Abidin (sa): Jika demikian, Anda belum memperhatikan sumur air Zamzam dan belum minum air Zamzam.
Ali Zainal Abidin (sa): Apakah Anda melakukan sa’i antara Shafa dan Marwa?
Asy-Syibli: Ya, saya sudah melakukannya.
Ali Zainal Abidin (sa): Apakah saat itu Anda mencurahkan semua harapan untuk memperoleh rahmat Allah, dan bergetar tubuhmu karena takut akan siksaan-Nya?
Asy-Syibli: Tidak.
Ali Zainal Abidin (sa): Kalau begitu, Anda belum melakukan sa’i antara Shafa dan Marwa.
Ali Zainal Abidin (sa): Apakah Anda sudah pergi ke Mina?
Asy-Syibli: Ya, tentu sudah.
Ali Zainal Abidin (sa): Apakah saat itu Anda telah sunggu-sungguh bertekad agar semua manusia aman dari gangguan lidah, hati dan tangan Anda sendiri?
Asy-Syibli: Tidak.
Ali Zainal Abidin (sa): Kalau begitu, Anda belum pergi ke Mina.
Ali Zainal Abidin (sa): Apakah Anda sudah wuquf di padang Arafah? Sudahkah Anda mendaki Jabal Rahmah? Apakah Anda sudah mengunjungi lembah Namirah dan berdoa di di bukit-bukit Shakharat?
Asy-Syibli: Ya, semuanya sudah saya lakukan.
Ali Zainal Abidin (sa): Ketika berada di Padang Arafah, apakah Anda benar-benar menghayati makrifat akan keagungan Allah? Dan apakah Anda menyadari hakekat ilmu yang dapat mengantarkan diri Anda kepada-Nya? Apakah saat itu Anda menyadari dengan sesungguhnya bahwa Allah Maha Mengetahui segala perbuatan, perasaan dan suara nurani?
Asy-Syibli: Tidak.
Ali Zainal Abidin (sa): Ketika mendaki Jabal Rahmah, apakah Anda tulus ikhlas mengharapkan rahmat Allah untuk setiap mukmin, dan mengharapkan bimbingan untuk setiap muslim?
Asy-Syibli: Tidak.
Ali Zainal Abidin (sa): Ketika berada di lembah Namirah apakah Anda punya tekad untuk tidak menyuruh orang lain berbuat baik sebelum terlebih dahulu Anda menyuruh diri Anda berbuat baik? Apakah Anda bertekad tidak melarang orang lain berbuat maksiat sebelum Anda mencegah diri Anda dari perbuatan tersebut?
Asy-Syibli: Tidak.
Ali Zainal Abidin (sa): Ketika Anda berada di bukit-bukit itu, apakah Anda benar-benar menyadari bahwa tempat itu merupakan saksi atas segala kepatuhan kepada Allah swt. Dan Tahukah Anda bahwa bukit-bukit itu bersama para malaikat mencatatnya atas perintah Allah Penguasa tujuh langit dan bumi?
Asy-Syibli: Tidak.
Ali Zainal Abidin (sa): Kalau begitu Anda belum berwuquf di Arafah, belum mendaki Jabal Rahmah, belum mengunjungi lembah Namirah dan belum berdoa di tempat-tempat itu.
Ali Zainal Abidin (sa): Apakah Anda melewati dua bukit Al-Alamain dan menunaikan shalat dua rakaat sebelumnya? Apakah setelah itu Anda melanjutkan perjalanan menuju Muzdalifah, mengambil batu di sana, kemudian berjalan melewati Masy’aril Haram?
Asy-Syibli: Ya, semuanya sudah saya lakukan.
Ali Zainal Abidin (sa): Ketika Anda melakukan shalat dua rakaat, apakah Anda meniatkan shalat itu sebagai shalat Syukur, shalat untuk menyampaikan rasa terima kasih pada malam tanggal 10 Dzulhijjah, dengan harapan agar tersingkir dari semua kesulitan dan mendapat kemudahan?
Asy-Syibli: Tidak.
Ali Zainal Abidin (sa): Ketika melewati dua bukit itu dengan meluruskan pandangan, tidak menoleh ke kanan dan ke kiri, apakah Anda benar-benar bertekad tidak akan berpaling pada agama lain, tetap teguh dalam agama Islam, agama yang hak yang diridhai oleh Allah swt? Benarkah Anda memperkuat tekad untuk tidak bergeser sedikitpun, baik dalam hati, ucapan, gerakan maupun perbuatan?
Asy-Syibli: Tidak.
Ali Zainal Abidin (sa): Ketika berada di Muzdalifah dan mengambil batu di sana, apakah Anda benar-benar bertekah untuk melempar jauh-jauh segala perbuatan maksiat dari diri Anda, dan berniat untuk mengejar ilmu dan amal yang diridhai oleh Allah swt?
Asy-Syibli: Tidak.
Ali Zainal Abidin (sa): Pada saat Anda melewati Masy’aril Haram, apakah Anda bertekad untuk menjadikan diri Anda sebagai keteladan kesucian agama Islam seperti orang-orang yang bertakwa kepada Allah swt?
Asy-Syibli: Tidak.
Ali Zainal Abidin (sa): Kalau begitu, Anda belum melewati Al-Alamain, belum melakukan shalat dua rakaat, belum berjalan menuju Muzdalifah, belum mengambil batu di tempat itu, dan belum melewati Masy’aril Haram.
Ali Zainal Abidin (sa): Wahai Syibli, apakah Anda telah sampai di Mina, telah melempar Jumrah, telah mencukur rambut, telah menyembelih binatang kurban, telah menunaikan shalat di masjid Khaif; kemudian kembali ke Mekkah dan melakukan thawaf ifadhah?
Asy-Syibli: Ya, saya sudah melakukannya.
Ali Zainal Abidin (ra): Setelah tiba di Mina, apakah Anda menyadari bahwa Anda telah sampai pada tujuan, dan bahwa Allah telah memenuhi semua hajat Anda?
Asy-Syibli: Tidak.
Ali Zainal Abidin (sa): Pada saat melempar Jumrah, apakah Anda bertekad untuk melempar musuh Anda yang sebenarnya yaitu iblis dan memeranginya dengan cara menyempurnakan ibadah haji yang mulia itu?
Asy-Syibli: Tidak
Ali Zainal Abidin (sa): Ketika Anda mencukur rambut, apakah Anda bertekad untuk mencukur semua kehinaan diri Anda sehingga diri Anda menjadi suci seperti baru lahir perut ibu Anda?
Asy-Syibli: Tidak.
Ali Zainal Abidin (sa): Ketika melakukan shalat di masjid Khaif, apakah Anda benar-benar bertekad untuk tidak merasa takut kepada siapaun kecuali kepada Allah swt dan dosa-dosa yang telah Anda lakukan.
Asy-Syibli: Tidak.
Ali Zainal Abidin (sa): Ketika Anda menyembelih binatang kurban, apakah Anda bertekad untuk memotong belenggu kerakusan diri Anda dan menghayati kehidupan yang suci dari segala noda dan dosa? Dan apakah Anda juga bertekad untuk mengikuti jejak nabi Ibrahim (sa) yang rela melaksanakan perintah Allah sekalipun harus memotong leher puteranya yang dicintai?
Asy-Syibli: Tidak.
Ali Zainal Abidin (sa): Ketika Anda kembali ke Mekkah untuk melakukan thawaf ifadhah, apakah Anda berniat untuk tidak mengharapkan pemberian dari siapapun kecuali dari karunia Allah, tetap patuh kepada-Nya, mencintai-Nya, melaksanakan perintah-Nya dan selalu mendekatkan diri kepada-Nya?
Asy-Syibli: Tidak.
Ali Zainal Abidin (sa): Jika demikian, Anda belum mencapai Mina, belum melempar Jumrah, belum mencukur rambut, belum menyembelih kurban, belum melaksanakan manasik, belum melaksanakan shalat di masjid Khaif, belum melakukan thawaf ifadhah, dan belum mendekatkan diri kepada Allah swt. Karena itu, kembalilah ke Mekkah, sebab Anda sesungguhnya belum menunaikan ibadah haji.
Mendengar penjelasan Ali Zainal Abidin (sa), Asy-Syibli menangis dan menyesali kekurangannya yang telah dilakukan dalam ibadah haji. Sejak itu ia berusaha keras memperdalam ilmu Islam agar pada tahun berikutnya ia dapat menunaikan ibadah haji secara sempurna. (Al-Mustadrak 10: 166)
Di ambil dari laman Syamsul Rifaei melalui laman Abu Bakar Mohd Rashid (Penarikbeca) - Terima Kasih Yang Tidak Terhingga.
Allah Yang Maha Pemurah dan Mengasihi
Pemuda dan pemudi ku...
Saya membaca dan tertarik dengan pandangan Sdr Wan Saiful Wan Jan, seorang Ahli PAS daftar terus sejak 1993, yang sekarang menetap di England mengenai Islam dan Kebangkitan Ekonomi.
Semoga tulisan beliau, boleh menjadi renungan kita bersama untuk menjadi panduan terhadap sistem ekonomi yang sedang digunapakai oleh negeri-negeri yang diperintah di bawah Pakatan Rakyat.
Saya bimbang kita hanya meneruskan sistem salah yang diwarisi dari pemerintahan rejim lama (Barisan Nasional)... kita mesti berusaha berubah. Kita mesti menjadi pemimpin ummah bukan menjadi pengikut sistem sedia ada.
Berikut adalah tulisan beliau:-
Dr Imad-ad-Dean Ahmad, Presiden Minaret of Freedom Institute, Amerika, pernah menulis satu artikel mengenai Islam dan sistem pasaran. Dalam artikel ini, penulis akan menterjemahkan beberapa hujah yang dikemukakan oleh Dr Imad ke dalam Bahasa Malaysia dan seterusnya memberikan hujah kenapa umat Islam di Malaysia khasnya dan rantau Asia umumnya wajar berusaha memastikan sistem ekonomi kita adalah berteraskan sistem pasaran terbuka yang bebas daripada campur tangan atau kawalan politik.
Menurut Dr Imad-ad-Dean Ahmad, perniagaan bukan perkara asing bagi umat Islam. Rasulullah (saw) dan Saidatina Khadijah (r.a) merupakan ahli perniagaan yang berjaya dalam pasaran bebas pada masa itu. Kitab suci Al-Quran juga penuh dengan pelbagai ayat yang menyentuh hal ehwal perniagaan. Malahan, jika kita teliti sejarah perkembangan Islam, kita pasti mengakui peranan penting yang dimainkan oleh ahli perniagaan dalam menyebarkan Islam ke seluruh pelusuk bumi. Islam sampai ke Tanah Melayu melalui ahli perniagaan yang bergerak dalam pasaran bebas dunia, bukan melalui bala tentera.
Malangnya, hubungan intim antara Islam dan pasaran bebas tidak begitu dihargai oleh dunia, termasuklah oleh umat Islam di Malaysia.
Usaha mengawal pasaran
Di awal kurun ke-20, hubungan rapat beberapa negara Arab dengan Soviet Union menyebabkan sistem sosialisme mula meresapi Timur Tengah. Sehingga hari ini, masih banyak lagi negara Arab yang mewarisi sisa-sisa sistem ekonomi sosialisme dalam mana kerajaan menguasai dan mengawal pergerakan ekonomi negara tersebut. Perkembangan pemikiran sosialis di negara-negara Arab akhirnya merosakkan sistem pasaran terbuka yang diwarisi masyarakat Arab sejak zaman Rasulullah (saw) lagi.
Bagaimanapun, sejak kebelakangan ini, kita melihat betapa negara-negara umat Islam mula menunjukkan rasa tidak selesa terhadap sistem ekonomi sosialisme. Beberapa buah negara umat Islam, termasuklah Malaysia, telah dan sedang berusaha memperkenalkan sistem pasaran yang lebih terbuka dan berdaya-saing.
Malangnya, beberapa kelompok di kalangan umat Islam masih lagi menentang sistem pasaran yang lebih terbuka. Menurut Dr Imad, terdapat tiga kelompok yang biasanya menentang sistem pasaran.
Kelompok pertama ialah mereka yang masih pekat dengan fahaman sosialisme. Mereka ini mengatakan bahawa kita tidak boleh memiliki harta peribadi kerana apa-apa harta yang kita miliki mestilah di kongsi dengan rakyat secara keseluruhan. Dalam bahasa Inggeris, mereka ini digelar sebagai “economic egalitarians”. Fahaman pro-sosialis menyebabkan mereka lebih selesa jika rakyat dan syarikat dikenakan cukai yang tinggi agar harta boleh dibahagi-bahagikan kepada semua rakyat, termasuklah kepada mereka yang tidak mahu bekerja.
Kelompok kedua pula meyakini bahawa untuk membangun, semua hal ehwal dalam sesebuah negara mestilah dikawal oleh kerajaan (autoritarian). Mereka ini berpegang dengan pandangan bahawa menteri-menteri adalah orang bijak pandai yang pakar dalam menyusun-atur ekonomi negara. Oleh itu, aktiviti ekonomi mestilah dikawal sepenuhnya oleh kerajaan melalui proksi-proksi tertentu.
Kelompok ketiga pula menentang sistem pasaran kerana mereka tidak suka kepada kesenangan dan kemewahan. Bagi mereka, harta hanya menjauhkan kita daripada agama. Sebaliknya, mereka mahu hidup dalam dunia tersendiri dan tidak mencampuri urusan mencari pendapatan untuk hidup lebih selesa (asetikisme).
Ketiga-tiga kelompok di atas mempunyai persamaan yang ketara. Mereka semuanya mengatakan bahawa harta atau kekayaan adalah perkara yang tidak baik untuk dimiliki oleh individu. Sebaliknya, pendapatan rakyat mesti dijadikan milik negara, contohnya melalui cukai yang tinggi, dan harta tersebut akan dikawal atau diuruskan oleh negara demi menjaga kebajikan semua rakyat.
Semua fahaman ini sebenarnya tidak selari dengan sistem Islam yang mahukan setiap individu Muslim berusaha dan bekerja, mengumpul harta daripada pekerjaan yang halal, dan kemudian melakukan sebanyak mungkin amal jariah secara sukarela. Seruan Islam ialah agar setiap individu Muslim membantu menjaga kebajikan jiran tetangga dan rakyat keseluruhan, bukan mencari helah dengan mengatakan bahawa itu adalah tanggungjawab kerajaan.
Islam dan harta peribadi
Dr Imad menegaskan bahawa Islam membawa satu sistem komprehensif untuk melindungi harta peribadi. Dalam Islam, semua perkara adalah ciptaan dan hak Allah. Harta peribadi adalah amanah yang diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya. Sebagai khalifah Allah di muka bumi, setiap individu mesti menjaga amanah tersebut dan menggunakannya untuk kebaikan manusia secara keseluruhan. Setiap individu akan dipertanggung-jawabkan sepenuhnya terhadap amanah tersebut (Yaasin, 54).
Al-Quran tidak menafikan hak seseorang individu untuk mengumpul harta. Sebaliknya, Al-Quran memberi beberapa garispanduan dan nasihat mengenai cara terbaik untuk membelanjakan harta. Dalam Islam, harta tidak boleh dibazirkan dan tidak boleh digunakan untuk menafikan hak orang lain (Al-Baqarah, 188).
Jika seseorang menyimpan harta milik orang lain, contohnya memegang amanah harta anak yatim, harta tersebut tidak boleh digunakan untuk kepentingan peribadi pemegang amanah tersebut (An-Nisaa, 9-10).
Bertentangan dengan fahaman sosialis atau autoritarian yang mahukan harta peninggalan si mati dijadikan hak negara, Islam menghormati hak untuk mewariskan harta (An-Nisaa’, 33). Malahan hak mewarisi harta diperluas kepada kaum wanita (An-Nisaa’, 7), walaupun ini tidak berlaku sebelum kedatangan Islam.
Rasulullah (saw) turut mempertegaskan betapa Islam amat menghormati harta milik peribadi. Dalam khutbah wada’, Baginda (saw) bersabda bahawa:
“Wahai manusia, sepertimana kamu menganggap bulan ini dan kota ini sebagai suci, maka anggaplah jiwa dan harta setiap orang Muslim sebagai amanah suci. Kembalikanlah harta yang diamanahkan kepada kamu kepada pemiliknya yang berhak”
Peranan kerajaan
Dalam sebuah masyarakat Islam, setiap individu bertanggungjawab memastikan harta mereka digunakan dengan cara yang terbaik. Tanggungjawab menjaga kebajikan masyarakat bukan diserahkan kepada kerajaan semata-mata. Sebaliknya, setiap individu Muslim bertanggung-jawab memastikan kebajikan jiran tetangga mereka terjaga, terutamanya dengan melakukan amal jariah.
Sejak kejatuhan Soviet Union, sudah tidak ramai lagi ahli ekonomi yang meyakini sistem ekonomi terancang (command and control economy). Dr Imad mengatakan bahawa sebenarnya ahli-ahli ekonomi Islam sejak awal-awal lagi menolak sistem ekonomi terancang. Sebaliknya, Islam lebih menggalakkan sistem pasaran yang tidak dipengaruhi kuasa politik. Rasululah (saw) acapkali mahukan harga sesuatu barangan atau komoditi ditentukan oleh kuasa pasaran.
Contohnya, dalam satu hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari daripada Abu Said al-Khudri, diceritakan bagaimana pada suatu hari Bilal ibn Rabah memberikan beberapa biji buah tamar berkualiti tinggi kepada Rasulullah (saw). Baginda (saw) bertanya “Bagaimana kamu boleh mampu membeli tamar ini?” Bilal menjawab, “Aku menyimpan beberapa biji tamar yang berkualiti rendah, dan aku menukarnya dengan tamar berkualiti tinggi untuk dihadiahkan kepada Rasulullah”. Baginda (saw) menjawab “Berhati - hatilah! Sesungguhnya inilah riba! Jika kamu mahu membeli tamar berkualiti tinggi, maka jual lah tamar yang berkualiti rendah dengan harga pasaran, dan gunakanlah wang yang kamu perolehi untuk membeli tamar yang berkualiti tinggi”.
Dalam kata lain, Rasulullah (saw) mahu urusniaga dijalankan berdasarkan harga pasaran kerana dengan itu, harga sesuatu barangan akan ditentukan oleh kuasa pasaran tanpa dipengaruhi unsur-unsur yang tidak sihat. Jelas bahawa Islam menganggap kuasa pasaran yang tidak dicampuri oleh pengaruh lain boleh menentukan dengan lebih baik dan lebih tepat harga yang paling wajar untuk sesuatu barangan.
Islam juga tidak cuba mengawal harga barangan dalam pasaran. Dr Imad mengatakan bahawa “Rasulullah (saw) hanya mencampuri urusan pasaran untuk mengelakkan berlakunya penipuan atau riba”. Baginda (saw) juga tidak cuba mengawal pasaran apabila Baginda (saw) mengambil alih kuasa politik.
Pada zaman pemerintahan khilafah Umayyah, pemerintah pada waktu itu mula mencampuri urusan pasaran dan cuba mengawal pasaran dengan kuasa politik. Khalifah Umar Abdul Aziz memperbetulkan kesilapan ini apabila beliau mengatakan kepada para gabernor yang beliau lantik bahawa :
“Allah telah menjadikan bumi dan air untuk manusia mencari rahmat-Nya. Maka biarlah para peniaga berjalan tanpa sebarang campurtangan atau gangguan. Jangan kamu mencampuri urusan mereka, dan jangan kamu ganggu usaha mereka mencari rezeki”.
Islam juga tidak menggalakkan kerajaan melibatkan diri dalam perniagaan. Ibn Khaldun mengatakan bahawa “aktiviti perniagaan yang dijalankan oleh kerajaan adalah merbahaya kepada rakyat dan boleh merosakkan pendapatan dan pentadbiran kewangan negara”. Ibn Khaldun menjelaskan bahawa jika kerajaan melibatkan diri dalam perniagaan, maka ada kemungkinan akan wujud sebuah monopoli yang akhirnya menyebabkan rakyat terpaksa membayar harga yang tinggi. Situasi sebegini pasti akan membebankan rakyat.
Islam menolak asetikisme
Islam menolak fahaman asetik yang seolah-olah mahu semua manusia hidup dalam kemiskinan dan kesusahan. Dr Imad berhujah bahawa, sebenarnya, kaya atau miskin tidak melambangkan apa-apa. Kekayaan dan kemiskinan hakikatnya adalah ujian kepada manusia. Ujian inilah yang akan menentukan jauh atau rapatnya kita kepada Allah. Semata-mata menjadi miskin, atau dengan sengaja mahu menjadi miskin, tidak langsung melambangkan hubungan seseorang individu dengan Allah dan jauh sekali daripada melambangkan taqwa.
Islam menganggap dunia dan kekayaan yang boleh diperolehi di muka bumi sebagai satu platform neutral yang membolehkan setiap individu menzahirkan rasa cinta mereka kepada Allah dengan sukarela, termasuklah dengan cara mengumpul kekayaan ang halal untuk dibelanjakan secara yang halal. Al-Quran dengan jelas mengarahkan manusia bekerja, dan Islam tidak menganggap usaha mengumpul rezeki per se sebagai sesuatu yang menjauhkan manusia daripada Allah.
Zakat dan pembahagian harta
Menurut Dr Imad lagi, dalam menilai sistem ekonomi Islam, sesetengah pengkaji terkeliru apabila mereka mendakwa Islam mahu menyamaratakan taraf sosio-ekonomi manusia. Mereka menyangka bahawa tujuan sistem zakat ialah untuk memastikan semua manusia mempunyai taraf sosio-ekonomi yang sama rata, tidak ada yang kaya dan tidak ada yang miskin. Ini merupakan dakwaan yang tidak tepat sama sekali.
Kadar zakat adalah amat kecil – hanya 2.5% sahaja. Kadar yang rendah ini jelas tidak akan membawa kepada taraf sosio-ekonomi yang sama rata. Dengan itu, zakat jelas bukan bertujuan untuk menyama-ratakan taraf sosio-ekonomi rakyat, dan bukan juga untuk “menghukum” mereka yang kaya. Sebaliknya, seperti yang dinyatakan dalam Al-Quran, zakat sebenarnya bertujuan untuk menyucikan harta seseorang Muslim.
Sebaik sahaja seseorang mengeluarkan zakat, maka Islam menganggap semua harta lain yang mereka miliki adalah suci dan sepenuhnya menjadi hak mereka. Sebarang perkongsian harta etelah zakat dikeluarkan adalah dalam bentuk sedekah yang sukarela, bukan dalam bentuk paksaaan undang-undang atau rampasan oleh mereka yang berkuasa.
Penutup
Keunggulan teori dan sistem ekonomi Islam sampai ke kemuncaknya pada zaman Ibn Khaldun pada abad ke-14. Ibn Khaldun merupakan tokoh agung yang telah berjaya menggariskan sistem sosio-ekonomi umat berdasarkan prinsip-prinsip Islam.
Bagi Ibn Khaldun, sistem ekonomi Islam menuntut setiap individu berusaha membiayai kehidupan diri sendiri dan keluarga masing-masing, membebaskan pasaran daripada campurtangan kuasa politik, dan mengajak setiap individu manusia menjadi warganegara yang bertanggungjawab terhadap kebajikan secara keseluruhan.
Kedatangan Islam ke muka bumi telah membawa satu sistem pasaran ekonomi yang bebas dan terbuka. Islam menyusun kegiatan ekonomi dengan satu rangkaian undang-undang perdagangan untuk memastikan pemilikan harta peribadi dihormati dan pasaran dibiarkan bebas untuk berfungsi dengan sendiri. Pandangan-pandangan yang menentang sistem pasaran terbuka kebanyakannya bukan berasal daripada penghayatan ajaran Islam yang tulin, tetapi biasanya lebih dipengaruhi fahaman sosialis atau autoritarianisme.
Seruan Islam agar setiap manusia melakukan amal jariah telah melahirkan satu generasi masyarakat bertamadun tinggi yang tiada tolok bandingnya. Generasi ini tidak mengharapkan kerajaan mengambil alih urusan menjaga kebajikan jiran tetangga, tetapi mereka giat menubuhkan pelbagai platform kebajikan yang bebas daripada cengkaman kerajaan. Contohnya, institusi waqaf berkembang pesat semasa zaman emas Islam.
Jika rakyat Malaysia benar-benar mahu mengamalkan sistem ekonomi berdasarkan Islam, maka langkah pertama yang mesti dilakukan ialah memastikan sistem pasaran terbuka kembali diletakkan ke tempatnya.
Oleh: Wan Saiful Wan Jan (www.waubebas.org/)
"Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Pemurah, dari
Semoga cebisan surat peninggalan Rasulullah saw akan menjadi pengajaran yang berguna kepada kita dalam usaha mengajak manusia berada di Sirathol Mustaqim, InsyaAllah.
Pemuda dan pemudi ku,
Kejarlah dan Intailah Malam Seribu Bulan
Sebagai sebuah kerajaan yang memerintah, selain dari memikirkan untuk memberi habuan dunia kepada rakyat dengan usaha menarik pelaburan dari luar negara, mempertingkatkan produktiviti anak negeri dan segala macam usaha bagi meninggikan ekonomi rakyat.
Maka sesuai dengan tema ‘Kedah Sejahtera’ – Pusat Khidmat Wakil Rakyat ADUN Kubang Rotan ingin menyeru umat Islam dalam DUN Kubang Rotan untuk bersama-sama memikirkan secara serius habuan atau hadiah istimewa yang diberikan oleh Allah swt kepada seluruh mukminin dan mukminat untuk mencari satu bonus sebagai bekalan yang penuh kesejahteraan ketika di alam akhirat nanti, iaitu dengan sama-sama mengintai malam Lailatul Qadar pada 10 malam-malam terakhir Ramadhan tahun ini dan Ramadhan tahun-tahun berikutnya, selagi nyawa dikandung badan.
Malam yang memberi bonus, amalan selama 1,000 bulan adalah satu tawaran yang tidak boleh dilepaskan oleh sesiapapun yang bergelar mukmin dan mukminat.
Kita boleh berusaha mendapat malam Lailatul Qadar ini, samada secara individu, berkeluarga atau berjamaah, di rumah, di surau atau di masjid.
Walaubagaimana pun bagi Pusat Khidmat Wakil Rakyat ADUN Kubang Rotan mengambil inisiatif untuk bergerak secara berjamaah dari masjid ke masjid sepanjang 10 malam terakhir Ramadhan tahun ini, dalam usaha menggerakkan motivasi rakyat Islam Kubang Rotan mengejar bonus yang sengaja disembunyikan oleh Allah swt.
InsyaAllah program akan bermula jam 01.00 pagi dan berakhir dengan kuliah suboh di 10 buah masjid dalam DUN Kubang Rotan dan InsyaAllah makanan untuk bersahur akan disediakan oleh pihak AJK masjid berkenaan.
Berikut adalah senarai masjid yang telah diaturkan gilirannya:-
19 Ramadhan 1429 : Masjid Al-Ghufran, Akar Peluru, Jalan Pegawai.
20 Ramadhan 1429 : Masjid Kg Baru, Kuala Kedah
21 Ramadhan 1429 : Masjid Kuar Jawa
22 Ramadhan 1429 : Masjid Kubang Jawi
23 Ramadhan 1429 : Masjid Nurul Ihsan, Kbg Rotan
24 Ramadhan 1429 : Masjid Al-Maarof, Sbrg
25 Ramadhan 1429 : Masjid Putra, Batu 6, Jalan Kuala
26 Ramadhan 1429 : Masjid Ehsan, Sbrg Perak
27 Ramadhan 1429 : Masjid Telok Chengai, Jln Kuala Kedah
28 Ramadhan 1429 : Masjid Nagore, Pekan Kuala Kedah
Kuatkan Tekad, Teguhkan Azam Mengejar dan Mengintai Malam Seribu Bulan Anugerah Tuhan Pencipta Alam
Semoga Berjumpa Di Sana!!!