Oleh: Ir.Trixi Damar Triadi, MM
Pada tahun 2000, ekonomi AS mengalami perlambatan yang susah diketahui penyebabnya, namun ditenggarai banyaknya perusahaan AS yang membuka pabriknya di negara-negara berkembang menjadi pemicu persoalan. Defisit perdagangan AS secara kontinyu terus meningkat, tanpa ada harapan ada pemulihan. Produk murah dari luar menjadi sumber konsumsi yang menarik bagi warga AS yang hampir 30%-nya mengalami obesitas karena hiper-konsumtif itu.
Perlahan tapi pasti, produktivitas ekonomi AS semakin menurun. Pasar uang dan saham yang tidak ada hubungannya dengan sector riil, instrument-instrumen derivative yang berbau judi, proses kapitalisasi financial yang semakin menggila, menjadi penggerak ekonomi AS yang semakin dominan. Wall Street menjadi sumber kekayaan bangsa AS, dengan berbagai banker dan pedagang saham menjadi kaya secara tidak proporsional karena proses-proses seperti “Leveraged Boy Out”, Merger dan akuisisi, Initial dan Secondary Public Offerings, dsb. Mereka membawa pulang bonus tahunan yang mencapai enam, tujuh, atau bahkan delapan digit US Dollar.
Selanjutnya, kekayaan ini sebagian besar dikonsumsi untuk membeli produk-produk murah buatan Cina dan Vietnam, diputar kembali dalam instrument investasi yang juga sejenis, dan hanya sebagian kecil sekali yang masuk sebagai sumber investasi di sector riil yang menyerap tenaga kerja, apalagi tenaga kerja lokal AS. Secara domestic, produksi ekonomi AS semakin dikuasai oleh kegiatan-kegiatan seperti ini.
Sementara itu, sumber produksi ekonomi yang riil semakin sedikit yang bertahan di AS. Persaingan bebas menyebabkan lebih banyak perusahaan yang menutup pabrik-pabriknya di AS dan merelokasi ke negara seperti Vietnam, Cina, Eropa Timur, dll. Berbagai kota industri yang dulu tumbuh berkembang karena industrialisasi di pedalaman AS, seperti Detroit, Michigan, telah terdegradasi menjadi kota kumuh penuh konflik antar geng sehingga dijadikan tema dalam film fiksi seperti “Robocop”.
Perlahan tapi pasti juga, berbagai instrument investasi tidak langsung ini semakin tidak menguntungkan. Semua orang seharusnya sadar bahwa instrument itu tidak memiliki “underlying asset” yang nyata, semuanya bergerak berdasarkan perbedaan asumsi antar investor yang disebabkan adanya “asymmetric information”. Kapitalisasi di Wall Street kebanyakan sudah mulai kehilangan pijakannya. Dan, investasi “bubble” ini perlahan sudah mencapai titik jenuh.
Kemudian babak baru tiba pada September 2001. WTC dihantam pesawat teroris. AS kini memiliki proyek baru, PERANG.
Perang yang dilakoni AS saat itu adalah perang yang sama sekali baru. Sebelumnya, perang lebih “padat karya” dengan kekuatan dihitung dari jumlah prajurit yang terlibat, sebagian besar infantry yang bertempur dengan tangannya sendiri, berdarah-darah di medan perang. Trauma perang Vietnam menyebabkan pengambil keputusan di Pentagon untuk memasukkan cara baru dalam perang, yakni perang “padat modal”. Pesawat nir-awak dengan rudal yang bernilai jutaan dollar menggantikan satu kompi pasukan darat, satu battalion infantry digantikan oleh cara-cara seperti Bantuan Udara langsung dengan bom-bom satelit seharga lima belas rumah, rudal jelajah Tomahawk yang bisa ditukar dengan puluhan ton gandum, dan system senjata seperti “predator” yang dikendalikan oleh awaknya di belahan bumi lain di AS sana.
Sasaran pertama AS adalah Afghanistan, negara malang yang telah lama dilupakan orang. AS menggebuk Afghanistan dengan senjata-senjata mahal yang didisain untuk membendung laju pasukan canggih Pakta Warsawa di medan Eropa. Rudal “Javelin” dan “Hellfire” yang dirancang untuk menghantam T-80 buatan Rusia digunakan untuk menghancurkan pick-up Toyota. Rudal yang digunakan harganya bisa dua atau bahkan sepuluh kali harga target yang dituju. Gubuk tanah yang mungkin dalam Rupiah masih dibawah sepuluh juta-an dihajar oleh rudal Tomahawk yang dirancang untuk menghantam Moscow dengan hulu ledak nuklir.
Semua kekonyolan ini sesungguhnya bukan tanpa alasan. Dalam menghantam Taliban dan Al-Qaeda, AS bisa saja menggunakan Aliansi Utara, mempersenjatainya dengan senjata yang “2nd grade”. Tapi, AS memilih untuk menggunakan senjata mereka yang paling baru. Kenapa? Karena alasan ekonomi tentunya. Diantara ekspor dari AS yang sedikit itu, ekspor senjata menempati posisi yang terhormat. Banyak negara yang menggantungkan militernya kepada senjata dari AS. Perang melawan terror merupakan sarana promosi gratis, disamping sebagai penyalur juga agar stock di militer AS bisa diisi ulang sehingga ekonomi domestic bisa kembali bergerak, walau hanya sedikit.Entah apa yang diharapkan AS dari avonturir militeristik ini. Untuk membiayai militernya yang rakus uang itu, AS semakin meningkatkan hutangnya ke luar negeri. Mungkin ini salah satu cara agar Dollar yang tertahan di luar negeri itu bisa kembali ke tanah Amerika. Tapi ternyata hutang ada biaya tambahannya, yang justru semakin meningkatkan defisit AS. Setelah tujuh tahun, semakin banyak Dollar dipegang oleh orang non-AS. Untuk meningkatkan persediaan uang di dalam negerinya, the Fed meningkatkan percetakan uang yang menyebabkan inflasi. Sedihnya, inflasi itu tidak dialami di AS, tapi di negara yang banyak mengekspor ke AS seperti China.
Sedangkan, karena serangan 9/11 itu, the Fed menurunkan suku bunga T-bond agar likiditas Dollar di AS bisa sedikit lenggang. Tapi, karena corak ekonominya yang kapitalistik itu, investasi malah meningkat bukan di AS tapi di negara lain seperti Cina. Pengangguran di AS tetap menjadi masalah. Sementara itu kalangan investor dan banker kebingungan karena uang yang mereka putar tidak menemukan instrument investasi yang cukup baik. Sebagian lari ke negara “emerging” seperti Indonesia, menjelaskan kenapa IHSG meningkat cukup dahsyat beberapa tahun terakhir ini, dan bursa komoditas, menjelaskan kenaikan harga komoditas seperti CPO, minyak bumi, emas, dll. Sebagian lagi masuk ke instrument “beresiko tinggi” seperti “Sub-prime Mortgage”.
Semuanya mulai bergelimpangan pada tahun 2007 akhir. Harga komoditas yang tinggi menyebabkan pertumbuhan ekonomi global semakin payah. Sementara itu, Sub-Prime Mortgage runtuh satu per-satu. Rontoknya berbagai pasar global dan dalam negeri menyebabkan pukulan yang telak bagi Dollar AS. Kini, the Fed berada dalam posisi yang sangat sulit. Dollar AS kini sebagian besar parkir di luar AS. Untuk menarik Dollar tersebut kembali ke AS, mereka harus menaikkan suku bunga T-bond. Tapi bila mereka menaikkannya, akan lebih banyak kerugian yang muncul akibat default di sub-prime mortgage. Bila T-bond rate diturunkan, lebih banyak Dollar AS yang keluar, sehingga meningkatkan supply Dollar. Akibatnya, nilai Dollar akan terdepresiasi. Masalah nilai Dollar ini juga lebih berat. Produksi di AS yang sedikit menyebabkan “underlying asset” dollar sesungguhnya kecil, jauh lebih kecil dari apa yang kini dipersepsikan banyak orang. Kegunaan Dollar kini lebih banyak sebagai alat tukar untuk perdagangan internasional. Bila perdagangan internasional ini tidak lagi menggunakan Dollar, maka nilai Dollar akan rontok, menukik. Rontok ini akan menyebabkan rush, yang menyebabkan adanya “panic selling” atas Dollar di pasar uang dunia, semakin menekan nilai Dollar. Akibatnya jelas, ekonomi AS akan hancur total.
Harapan terakhir AS adalah meyakinkan dunia bahwa ekonomi AS masih kuat. Kenyataan bahwa banyak Milyuner dunia yang menyimpan kekayaan mereka dalam Dollar juga cukup membantu. Mana ada milyuner yang ingin mendadak bangkrut?
Tapi kini, makin banyak kerugian akibat Sub Prime Mortgage yang muncul ke permukaan. Bangkrutnya investment banking besar Wall Street seperti Bear Stearns baru-baru ini hanya menambah daftar korban yang jatuh dalam krisis Mortgage ini. Para milyuner dunia juga perlahan mulai sadar, kalau Dollar tidak bisa lagi diandalkan. Dengan cara gerilya, mereka menukar simpanan harta mereka dari Dollar ke komoditas, saham, obligasi, dll. Hal ini menjelaskan kenaikan berbagai komoditas dan pasar saham di beberapa negara berkembang. AS masih beruntung, karena perdagangan internasional tampaknya belum beralih dalam penggunaan Dollar. Tapi yang menjadi pertanyaan, sampai kapan?
Menarik untuk berspekulasi, kalau AS akan menggunakan cara yang ia ketahui dalam mengatasi krisis ekonomi ini dalam menanggulangi permasalahannya, yakni perang. Dalam pemikirannya yang sempit dan horror ini, perang memenuhi dua macam kebutuhan. Pertama, meningkatkan konsumsi dalam negeri dalam hal ini produksi senjata yang “padat modal” sehingga bisa menggiatkan ekonominya yang lesu. Kedua, perang menghancurkan kemampuan ekonomi lawan sehingga menghilangkan pesaing serta meneguhkan dominasi yang sudah dimiliki AS sebelum ini.
Ekonomi AS memang akan runtuh, setidaknya ia tidak akan menjadi ekonomi terbesar di dunia lagi. Runtuhnya ekonomi ini tentunya akan membawa gejolak yang cukup parah di dalam negeri, tapi pada akhirnya dengan kebijaksanaan akan ditemui stabilitas baru sehingga permasalahan akan diatasi. Maukah AS menanggung kerusuhan di dalam negerinya? Relakah kelas penguasa di AS kehilangan kursi pijakannya dalam gejolak sosial yang mengiringi kontraksi ekonominya? Siapkah AS tidak lagi menjadi negara “superpower”, kehilangan kekuasaannya, kemudian melihat Cina dan India, atau negara Islam seperti Iran, menjadi superpower dunia baru? Kalau jawaban dari ketiga pertanyaan itu IYA, maka semua dalam skala global akan baik-baik saja. Dunia akan tetap damai. Kalau jawabannya TIDAK, maka bersiaplah menghadapi perang baru…
Penulis: Trixi Damartriadi
No comments:
Post a Comment