Oleh: Ahmad Arif
Mantan Pengurus Pusat Ikatan Mahasiswa dan Pemuda Aceh, Jakarta
Kehidupan politik di negeri ini sungguh kental dengan nuansa keglamoran dan sikap hedonisme. Para politikus pun tidak sungkan-sungkan untuk tampil parlente dan serba "wah" laiknya kaum selebritas. Mobil-mobil mewah tampaknya sudah menjadi bagian dari gaya hidup mereka. Inilah yang dikritik secara pedas oleh Busyro Muqadas, di penghujung masa jabatannya sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa waktu lalu.
Iding R Hasan, (Republika, 29/11/2011), Dosen Ilmu Politik Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta menegaskan, salah satu faktor kentalnya aroma ekonomi pada kehidupan politik di negeri ini adalah masuknya kalangan pengusaha ke dalam panggung politik. Inilah yang disebut dengan fenomena politik pengusaha.
Artinya, terdapat perkawinan kepentingan antara penguasa dan pengusaha. Partai-partai politik sebagai pemasok terbesar politikus umumnya sangat bergantung pada pengusaha bahkan sebagian besar kini berhasil dipimpin oleh pengusaha. Maka, tidaklah mengherankan kalau pengusaha-pengusaha yang sudah terbiasa hidup dengan kemewahan membawa kebiasaannya tersebut ke dalam kehidupan berpolitik. Celakanya adalah para politikus yang tidak berlatar belakang pengusaha pun, perlahan tapi pasti, mulai terjangkiti kebiasaan hidup mewah tersebut. Bahkan terkadang lebih liar, binal, ba'al dan bebal serta berdasa muka.
Yang lebih menyedihkan lagi adalah ketika mereka melakukan berbagai cara ilegal, seperti KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) dan atau NKK (Nolongin Kawan-Kawan), demi memenuhi keinginan hidup bermewah tersebut.
Wara' dan Zuhud
Sebagai makhluk sosial manusia tidak pernah lepas dari perselisihan dan perdebatan. Penyebabnya bisa bermacam-macam, demikian juga dengan ujung perselisihan tersebut, ada yang berdamai, ada pula yang terus saling memusuhi. Jika mereka orang yang berakhlak mulia maka akhir permasalahan adalah kedamaian dan hikmah yang luar biasa, namun jika mereka orang-orang yang serakah dan sombong maka permasalahan yang sepele bisa berujung ke pertumpahan darah.
Menjaga diri dari keharaman ( wara' atau iffah) adalah hal yag sangat mulia. Oleh karena itu, sepatutnya sifat wara' menjadi perhiasan setiap muslim. Dengan memiliki sifat tersebut, hilanglah sifat serakah dan tama' terhadap urusan dunia. Pemilik sifat ini akan mendahulukan hak orang lain dari pada haknya sendiri, sehingga permusuhan, pertikaian dan saling membelakangi dapat dihindari dan akhirnya hati pun penuh dengan kedamaian.
Secara etimologi al-wara' menurut bahasa jika dikatakan, "wara'a yara'u war'an wa wara'an wa wari'atan." artinya menjaga dan menghindari dari hal-hal yang diharamkan kemudian digunakan juga untuk perbuatan menahan diri dari hal halal yang mubah. Pelakunya disebut wari'un atau mutawarri'un. Sedangkan secara terminologis, al-wara' artinya menahan diri dari hal-hal yang dapat menimbulkan mudharat lalu menyeretnya kepada hal-hal yang haram dan syubhat.
Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya ada yang syubhat, manusia tidak banyak mengetahui. Siapa yangg menjaga dari syubhat, maka selamatlah agama dan kehormatannya. Dan siapa yang jatuh pada syubhat, maka jatuh pada yang haram." (HR Bukhari & Muslim).
Sikap wara' membuahkan zuhud. Zuhud berasal dari terminologi ilmu tasawuf yang berarti tidak tertarik terhadap sesuatu atau meninggalkannya. Dalam hal ini, meninggalkan kehidupan duniawi demi mengejar kehidupan ukhrawi. Sebagian sufi ada yang ekstrem memaknai zuhud dengan sama sekali meninggalkan dunia, bahkan sebagian dari mereka menyebutkan bahwa "dunia merupakan penjara bagi orang-orang beriman." Dengan demikian, kalau orang masih terikat kehidupan duniawi, sulit baginya untuk mencapai kehidupan ukhrawi yang lebih baik.
Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka), dalam karyanya Tasawuf Modern Perkembangan dan Pemurniannya (1939), menjelaskan bahwa zuhud adalah tidak ingin atau tidak demam terhadap dunia, kemegahan, harta benda, dan pangkat. Artinya, seorang pelaku zuhud tidak berarti meninggalkan sama sekali dunia, namun hatinya tidak demam atau tidak terikat pada dunia.
Hamka menegaskan bahwa pelaku zuhud menerima kemiskinan sebagaimana halnya ia menerima kekayaan. Saat ia mendapatkan kekayaan yang berlimpah ruah, ia tetap ingat akan kehidupan ukhrawi, sama seperti ia berada di dalam kemiskinan. Dengan kata lain, ia tidak sampai dikuasai atau diperbudak oleh hartanya, tetapi justru dialah yang menguasai hartanya tersebut untuk dimanfaatkan dalam kebaikan dan sesuai dengan proporsinya.
Urgensi Wara' dan Zuhud Politik
Di tengah gaya hidup hedonis-kapitalistis yang tengah menjangkiti kehidupan para politisi dan pejabat di negeri ini, gaya hidup wara' dan zuhud tampaknya memberikan tawaran yang mencerahkan. Tentu saja ada banyak manfaat atau hikmah yang dapat mereka peroleh jika, setidaknya, semangat wara' mampu diejawantahkan dalam kehidupan politik mereka.
Paling tidak ada tiga hal yang menjadikan urgen bersikap wara' dan zuhud dalam berpolitik.
Pertama, kalau para wakil rakyat dan pejabat publik mampu menerapkan wara' dan zuhud dalam kehidupannya, tentu ini akan menjadi teladan yang baik bagi rakyat. Salah satu problem akut bangsa ini adalah krisis keteladanan dari para pemimpin. Rakyat seakan sulit sekali menemukan sesuatu yang dapat mereka teladani dari para elite politik dan pemimpin negeri.
Argumen salah seorang anggota dewan yang mengatakan, "Apa salah saya memiliki mobil mewah? Toh saya membelinya dengan uang sendiri, bukan korupsi," agaknya memperlihatkan krisis keteladanan tersebut. Dia barangkali atau pura-pura tidak menyadari bahwa sebagai seorang elite, terlebih sebagai yang mewakili rakyat, perilakunya tersebut dapat memberikan pengaruh pada mereka. Kalau mereka hidup bermewah-mewah sebenarnya mereka sedang memberikan contoh gaya hidup seperti itu kepada rakyat.
Kedua, orang yang mampu menerapkan wara' dan zuhud di dalam kehidupannya akan mampu membangun empati sosial terhadap orang-orang yang menderita. Gaya hidup wara' dan zuhud sangatlah mendukung pekerjaan para wakil rakyat dan pejabat publik. Sejatinya, mereka bekerja semata-mata untuk memperjuangkan nasib dan aspirasi rakyat. Maka, jika mereka hidup bermewah-mewah tentu tidak akan merasa nyaman ketika berhadapan dengan rakyat yang sedang mereka perjuangkan karena terdapat kesenjangan yang demikian menganga.
Ketiga, pelaku wara' dan zuhud tidak menemukan kenikmatan hidup pada perolehan materi yang berlimpah, tetapi pada bagaimana ia berbagi kepada orang lain dengan hartanya tersebut. Ia mampu mengendalikan hartanya, tidak sebaliknya, harta yang mengendalikannya. Baginya, hidup dengan mencukupi semua kebutuhannya sudah dianggap baik, sekalipun tidak semua keinginannya terpenuhi. Para politikus yang memiliki semangat wara' dan zuhud di dalam jiwanya tentu tidak akan mengukur keberhasilannya dengan kepuasan materi yang di dapatnya selama menjabat. Tetapi, bagaimana ia mampu menjalankan amanahnya tersebut dengan baik dan mendapatkan harta sesuai dengan hak yang semestinya ia peroleh. Dengan demikian, mereka tidak akan menghalalkan segala cara demi memperoleh harta tersebut.
Spiritualitas Dunia Politik
Realitas politik praktis yang berlangsung saat ini, jauh dari kehidupan spiritual. Politik sampai saat ini masih lebih dominan dimaknai ala Harold Lasswell; siapa mendapatkan apa, kapan dan bagaimana. Dengan kata lain, ujung dari gerak politik adalah bagaimana memperoleh dan mempertahankan kekuasaan.
Sekarang ini jarang orang berbicara tentang politik sebagai pengalokasian nilai-nilai (allocation of the values) atau seperti yang ditekankan ilmuwan politik klasik semacam Plato mengenai kebaikan bersama. Politik dalam maknanya seperti ini justru bisa menekankan masalah komitmen bersama untuk mendistribusikan nilai-nilai keadilan, kebaikan, dan sebagainya.
Dalam konteks inilah, politik sesungguhnya bisa menampilkan aspek spiritualitasnya sehingga tidak terasa kering. Wara' dan zuhud sebagai salah satu konsep yang berasal dari khazanah tasawuf bisa menjadi salah satu pembangkit spiritualitas politik tersebut.
sumber
No comments:
Post a Comment