Oleh: Muhammad Dudi Hari Saputra
Mahasiswa S2 Hubungan Internasional, Konsentrasi Diplomasi Perdagangan Global, Universiti Gadjah Mada.
Kebijakan Luar Negeri Turki
Setidaknya dalam penelitian penulis dari tahun 2002-2010 Turki pada
masa kepemimpinan Recep Tayyib Erdogan dan partai AKP (Adalet ve
Kalkinma Partisi / Justice and Development Party/ Partai Keadilan dan
Pembangunan) yang dipimpinnya telah membawa perubahan luar biasa pada
Turki, terutama sekali dalam percaturan hubungan internasional Turki
mampu merumuskan sebuah kebijakan luar negeri yang komprehensif, tidak
terdikotomi dalam polar kekuatan dunia dan menekankan pada aspek soft
power (kekuatan ekonomi-politik dan kebudayaan/pengetahuan).
Ahmet Davutoglu, Menteri Luar Negeri Turki mengkritisi tesis Samuel P.
Huntington yang menganggap bahwa Islam adalah ancaman bagi Barat.
Huntington menganggap bahwa kompetisi dan konflik yang sebelumnya
didasari kepada konflik Ideologi (liberalisme versus komunisme) akan
digantikan dengan konflik antarperadaban (dalam konteks Turki adalah
peradaban Islam versus peradaban Barat). Tesis Huntington mengatakan
bahwa Turki berada dalam "masyarakat yang berada di ujung tanduk".
Yaitu, Turki sekarang terbagi kedalam para elit politik yang condong
kepada Barat (Uni Eropa) dan sebagian masyarakat Turki yang lebih
condong menganggap Turki adalah bagian dari negara Islam yang lebih
dekat ke Timur Tengah.
Davutoglu membantahnya dan
beranggapan bahwa peradaban di dunia ini tidak didasari oleh konflik
atau benturan antarperadaban akan tetapi dialog secara komprehensif dan
bentuk ini dibutuhkan untuk menciptakan keamanan dunia internasional,
Turki seharusnya merangkul potensi ancaman dikawasan Timur Tengah, Asia,
Balkan dan Trans-kaukasia menjadi partner strategis yang efektif dan
aktif. Setelah partai AKP berhasil menguasai Pemerintahan dengan Recep
Tayyib Erdogan sebagai perdana menterinya , Davutoglu kemudian berusaha
meningkatkan peranan politik luar negeri Turki sebagai
jembatan/penghubung antara Asia dan Eropa serta Islam dan Barat, dengan
pernyataanya sebagai menteri luar negeri Turki yang terkenal:
Turkey should act as a "central country", breaking away from a "static and single-parameter policy" and becoming a "problem solver" contributing to "global and regional peace". (Ahmet Davutoglu, 'Turkey's Foreign Policy Vision: an Assessment of 2007')
Davutoglu berpendapat bahwa Turki memiliki posisi geografi yang
strategis, dengan konsep Strategic Depth (yaitu Memanfaatkan kelebihan
Turki baik secara geografi, budaya serta pengaruh sejarah sebagai alat
Turki dalam berinteraksi dalam kancah dunia Internasional). Bisa
dikatakan strategi yang dipakai oleh Turki dalam kebijakan luar
negerinya sesuai seperti yang dikatakan oleh Philip Robins yaitu "a
double-gravity state" sehingga Turki memiliki dua jaringan sekarang
yaitu Komunitas Atlantik Eropa dan negara-negara tetangganya di Timur
Tengah. Kebijakan ini setidaknya melahirkan dua bentuk aksiologi,
pertama adalah prinsip non-intervensi terhadap kebijakan dalam negeri
negara lain dan zero problems with neighbours (kebijakan nir-masalah dengan negara tetangga).
Kebijakan yang diterapkan dari tahun 2002 sampai 2010 ini berhasil
memberi dampak positif yang sangat signifikan untuk pertumbuhan kualitas
ekonomi dan politik di Turki, Kebijakan bertetangga Turki dengan
doktrin baru yang dibawa oleh pemerintahan Recep Tayyib Erdogan dengan
partai AKP nya membuat hubungan Turki semakin erat dengan beberapa
negara tetangganya termasuk beberapa negara tetangga yang dianggap
sebagai "saingan"dari Eropa seperti Rusia, dan beberapa negara di Timur
Tengah seperti Iran dan Suriah, bahkan mulai juga melakukan hubungan
yang baik dengan wilayah otonomi Kurdi di Irak utara yang dalam beberapa
dekade sempat memiliki hubungan yang buruk.
Hubungan
yang baik antara Turki dengan Rusia dan beberapa negara di Timur Tengah
bisa dilihat dari semakin meningkatnya kerja sama di bidang ekonomi.
Sebagai perbandingan bisa dilihat dari angka total ekspor keseluruhan
Turki ke negara-negara kawasan Timur Tengah pada tahun 2009 sebesar 20%
dibanding pada 2004 yang hanya 12,5%, hubungan perdagangan dengan Iran
meningkat lebih dari 6 kali lipat mencapai $7,5 M pada tahun 2007 dan
transaksi perdagangan dengan Suriah juga meningkat dari $1,1 M pada
tahun 2007 meningkat menjadi $1,4 M pada tahun 2008.
Turki juga memiliki posisi geografi yang strategis sebagai jalur
penghubung aliran gas dan minyak dari Timur Tengah ke Eropa. Anggaran
militer Turki adalah yang terbesar kedua setelah Amerika Serikat di
NATO. The Stockholm Peace Research Institute (SIPRI) mengestimasikan
pengeluaran Turki di bidang militer sekitar $20 miliar, atau 2,2% dari
GDP nya.
Hubungan luar negeri Turki yang semakin baik
dengan beberapa negara di kawasan semenjak di bawah kepemimpinan Recep
Tayyib Erdogan mengindikasikan semakin kuatnya kemandirian Turki dalam
membuat kebijakan luar negerinya dan juga menjadi pendorong negara ini
untuk menjadi negara yang memiliki kekuatan yang kuat di kawasan.
Namun itu terjadi pada 3 tahun yang lalu. Pada tahun 2011 Erdogan dan
Davutoglu mulai membuka kotak pandora dan melakukan miskalkulasi ketika
melanggar doktrin luar negerinya sendiri dengan mulai ikut campur urusan
dalam negeri negara tetangganya, yaitu Suriah. Pada tahun 2011 Erdogan
menyatakan bahwa Bashar al-Assad sudah saatnya turun menjabat sebagai
Presiden atas desakan "demokrasi" rakyat Suriah. Perkataan Erdogan itu
menyulut hubungan Turki dengan beberapa pendukung setia Suriah rezim
Bashar al-Assad seperti Rusia, Cina, Irak dan Iran (termasuk Hizbullah)
menjadi renggang bahkan "panas".
Pada awalnya, Erdogan
berharap manuver ini mampu mengukuhkan peran Turki sebagai negara yang
pro-demokrasi di kawasan, sehingga mampu meningkatkan kredibilitas Turki
terutama bagi negara-negara pendukung demokrasi (AS dan Uni Eropa).
Namun di sinilah letak petaka itu berawal, Kevin Barret berpendapat
bahwa Erdogan yang selama ini menganggap dirinya sebagai kepala negara
Turki yang mampu mengharmonisasikan Islam dan demokrasi malah jatuh
kedalam jebakan imprealisme/kapitalisme AS, Uni Eropa dan Zionis-Israel
dalam kasus Suriah.
Turki yang sebelumnya terlihat
sangat independen di dalam kebijakan luar negerinya, malah terlihat
menjadi pion dari kekuatan imprealis AS dengan memutuskan untuk
menjadikan wilayah perbatasan Turki-Suriah sebagai tempat pelatihan dan
rekrutmen gerakan pemberontak Suriah, yang ternyata membuat Turki bukan
terlihat sebagai pendukung demokrasi di Timur Tengah melainkan
terorisme. Karena gerakan "demokrasi" di Suriah telah dibajak oleh
militan al-Qaeda yang bermotifkan sektarian.
Kebijakan
gegabah Turki ini sudah cukup membuat sebagian masyarakat Turki
anti-pati terhadap Erdogan. Namun hal ini semakin diperparah dengan
kebijakan Erdogan yang kembali membuka kerja sama yang erat dengan
Israel pasca menerima permintaan maaf Israel atas kasus Mavi Marmara
(serangan pasukan Israel atas kapal bantuan Turki untuk Palestina). Dan
sikap ini telah membuat kecewa negara-negara di kawasan Timur Tengah dan
kelompok islamis di Turki.
Kebijakan Dalam Negeri Turki dan Keliyanan Erdogan
Di dalam negeri sendiri, Erdogan memang dianggap mampu membuat Turki
sebagai kekuatan ekonomi-politik di Timur Tengah dan Eropa, di saat
negara-negara Eropa tertimpa krisis dan defisit pertumbuhan ekonomi pada
tahun 2009. GDP (gross domestic product) Turki mengalami peningkatan
yang pesat, yaitu $589 milliar dollar pada tahun 2000 menjadi $991
miliar dollar pada tahun 2008, dan pendapatan turki adalah urutan ke 16
terbesar di dunia dan masuk ke dalam negara G-20. Dan pertumbuhan
ekonomi Turki pasca krisis ekonomi 2008-2009 adalah yang tercepat
pulihnya dengan pertumbuhan sebanyak 5%.
Huseyin Bagci
mengutarakan bahwa keberhasilan ekonomi yang diraih Turki di masa
Erdogan inilah yang telah membuat Erdogan menjadi besar kepala. Erdogan
mulai menunjukkan sikap otoriter dan merasa berhak mengatur rakyat
Turki sekehendaknya. Hal ini membuat internal rakyat Turki mulai
membencinya. Dan sekutu terdekat Turki, seperti AS dan Uni Eropa pun
mulai menunjukkan sikap aslinya terhadap Erdogan, yang mulai mengkritik
dan meminta evaluasi atas kebijakan represif Erdogan kepada para
demonstran.
Peristiwa taman Gezi yang dekat dengan
lapangan Taksim pun menjadi momentum perlawanan rakyat Turki atas
kepemimpinan Erdogan, dalam sudut pandang psikoanalisis Lacan; Erdogan
sedang tunduk pada liyan (the other) akan dirinya sendiri, sebuah hasrat
"aku" yang timbul karena rasa kekurangan (pesimistik) dan kemudian
melahirkan sikap permintaan untuk menandai liyan akan dirinya melalui
simbol-simbol penanda utama.
Diskursus sang penguasa
Erdogan mendesakkan identifikasi nilai-nilai dan konsep tertentu sebagai
landasan dan inti hidup sebagai penanda utama, yang diharapkan
mengejawantah secara sistematik didalam sistem "hukum/kebijakan". Dalam
kasus Erdogan penanda utama yang diambil adalah liyan berupa romantisme
sejarah kekhalifahan Utsmani Turki yang mampu membawa bangsa Turki pada
puncak kejayaannya berupa pembangunan kembali replika barak militer
Utsmani (yang dihancurkan pada tahun 1940 oleh rezim Kemal Attaturk) dan
dipadu dengan simbol kemakmuran ekonomi berupa pembangunan pusat
perbelanjaan dan pemukiman elite. Pada dasarnya Erdogan sedang
menyimbolkan dirinya sebagai bapak negara yang mampu mensejahterakan
rakyat Turki sehingga pantas untuk dianggap sebagai Sultan.
Erdogan melakukan pendekatan Teosentris di dalam perencanaan
pembangunan di taman Gezi. Teosentrisme adalah suatu pandangan yang
berdasarkan pada dogma agama yang menjadi kekuatan kekuasaan. Pada era
kekhalifahan Utsmaniyah para ulama mempunyai kekuatan (power) yang
mendukung sistem kekuasaan kesultanan/monarki, yang dipraktekkan dengan
sistem militer. Perencanaan mempunyai peranan untuk memperkuat kekuasaan
kesultanan. Pembangunan Kota diwujudkan sebagai artikulasi kepentingan
pembangunan, tentara dan birokrasi. Muncullah sistem perencanaan yang
disebut Authoritarian Planning. Tradisi ini ditandai adanya prioritas
pembangunan lapangan untuk parade militer, boulevard, taman serta
monumen sebagai simbol kekuasaan.
Taman Gezi pun
akhirnya menjadi replika dan simbol utama pembangunan simbol romantisme
dan kebangkitan kekhalifahan Turki era Utsmaniyah. Karena taman Gezi dan
kawasan lapangan Taksim dianggap merupakan representasi simbol hegemoni
sekularisme (Kemalis) yang harus ditata ulang untuk mewakili
representasi rezim yang berkuasa sekarang, yaitu Erdogan dan AKP nya
yang Islamis, yang kemudian dipadu dengan pembangunan pertokoan dan
perumahan elite yang mewakili bentuk Neoliberalisme dari pemerintahan
yang berkuasa sekarang.
Identitas simbol yang coba
dilakukan oleh rezim Erdogan pun akhirnya mendapat Perlawanan keras oleh
rakyatnya sendiri, yang pada awalnya dari basis aktivis lingkungan
Turki karena menganggap bahwa Taman ini adalah satu-satunya kawasan
hijau dikawasan lapangan Taksim, dan kemudian menjadi momentum
perlawanan aktivis dari berbagai kalangan termasuk gerakan perlawanan
para Kemalist (pendukung sekuler) karena perencanaan pembangunan replika
barak militer Utsmaniyah (simbol kubu konservatif-islamis), kemudian
oleh kalangan anti-kapitalis/neolib dan kalangan terpinggirkan (buruh,
bahkan termasuk kalangan islamis) karena pembangunan pusat perbelanjaan
dan komplek perumahan elite (simbol kapitalisme/neoliberalisme), serta
kalangan yang tidak puas dengan perilaku otoriter rezim Erdogan yang
menyebut Erdogan adalah otoriter dan ingin menjadi Sultan, yang akhirnya
membuat aksi demonstrasi menyebar ke seantero wilayah Turki.
Erdogan yang pada awalnya dianggap berhasil dan menjadi pahlawan
(Messiah) baik di tataran internal maupun eksternal negaranya, mulai
mengalami masa pesakitan (Phariah). Erdogan pada tataran eksternal
negaranya sudah gagal dalam kasus Suriah yang membuat hubungan Turki
semakin renggang dengan Suriah, Rusia, Irak, Lebanon, Iran dan Cina.
Begitu pula di internalnya, Erdogan dibenci oleh kalangan Kemalist,
aktifis lingkungan, dan anti-kapitalis. Baru-baru ini BBC mengabarkan
bahwa pemerintahan Turki bersedia untuk menunda pembangunan ulang taman
Gezi, sambil menunggu keputusan hukum apakah pemerintah memiliki
legalitas untuk melakukan pembangunan ulang atau tidak.
Patut kita nantikan, apakah demonstrasi rakyat Turki akan berhenti atau
tidak dalam menyikapi keputusan Erdogan ini, jika masih berlanjut. Maka
bisa dipastikan bahwa aksi demonstrasi di Turki tidak hanya terkait
penolakan pembangunan ulang taman Gezi (isu populis), melainkan
penolakan atas berkuasanya rezim Erdogan untuk terus berkuasa (isu
strategis dan ideologis).
1 comment:
saya mengucapkan banyak terimakasih kepada KI HADAK yang telah menolong saya dalam kesulitan,ini tidak pernah terfikirkan dari benak saya kalau nomor yang saya pasang bisa tembus dan ALHAMDULILLAH kini saya sekeluarga sudah bisa melunasi semua hutang2 kami,sebenarnya saya bukan penggemar togel tapi apa boleh buat kondisi yang tidak memunkinkan dan akhirnya saya minta tolong sama KI HADAK dan dengan senang hati beliau mau membantu saya..,ALHAMDULIL LAH nomor yang dikasi KI semuanya bener2 terbukti tembus dan baru kali ini saya menemukan dukun yang jujur,jangan anda takut untuk menhubungiya jika anda ingin mendapatkan nomor yang betul2 tembus seperti saya,silahkan hubungi KI HADAK DI 085=259=457=111 ingat kesempat tidak akan datang untuk yang kedua kalinya dan perlu anda ketahui kalau banyak dukun yang tercantum dalam internet,itu jangan dipercaya kalau bukan nama KI HADAK
Post a Comment