AMATI JARI DITENGAH DAN 2 DI KIRI, 2 KANANNYA |
Memang: di seberang gerbang Raja Abdul Aziz, berdiri sebuah bangunan mega (baru diresmikan Ogos tahun ini), yang disebut Abraj al-Bait. Raksasa ini lebih dari 600 meter tingginya: menara jam yang paling tinggi didunia. Empat muka jam di puncaknya masing-masing berbentuk mirip Big Ben di London, meskipun mengalahkannya dalam ukuran: diameternya masing-masing 46 meter, dengan jarum panjang yang melintang 22 meter. Dan berbeda dengan Big Ben, di atasnya yang diterangi dua juta lampu LED tertulis , "Allahu Akbar".
Di Abraj al-Bait ada 20 lantai pusat belibelah dan sebuah hotel dengan 800 bilik. Juga tempat tinggal. Garajnya boleh menampung 1,000 kenderaan. Tapi para tamu dan penghuni juga boleh datang dengan helikopter (ada lapangan untuk menampung dua pesawat), karena ini memang tempat bagi mereka yang mampu menyewa, atau memiliki, pesawat terbang itu. harga semalam di salah satu bilik di Makkah Clock Royal Tower sekitar RM2,500.00.
Dari ruang yang disejukkan hawa dingin itu mereka dengan duit berlimpah boleh memandang ke bawah -ya, jauh ke bawah- mengamati ribuan muslim yang bertawaf mengelilingi Ka'bah bagai semut yang berputar mengitari sekerat cokelat.
Saya tak boleh membayangkan, bagaimana dari posisi itu akan ada orang yang boleh menulis seperti Hamka di tahun 1938. Apa kini artinya "di bawah lindungan Ka'bah"? Justru binaan sederhana tapi penuh aura itu yang sekarang seakan-akan dilindungi bangunan tinggi melangit, terutama Abraj al-Bait yang begitu megah dan gemerlap—dengan 21,000 lampunya yang memancar sehingga sejauh 30 kilometer dan membuat rembulan di langit pun mungkin tersisih.
Betapa berubahnya Mekah. Atau jangan-jangan malah berakhir. "It is the end of Mecca," kata Irfan al-Alawi, Direktur Pelaksana Islamic Heritage Research Foundation di London, kepada The Guardian. Nada suaranya murung seperti juga suara Sami Angawi.
Hampir 40 tahun yang lalu aritek ini mendirikan Pusat Penelitian Ibadah Haji di Jeddah. Dengan sedih dia menyaksikan transformasi Mekah berlangsung di bawah kuasa para pengusaha properti dan pengembang. "Mereka ubah tempat ziarah suci ini jadi mesin, sebuah kota tanpa identiti, tanpa peninggalan sejarah, tanpa kebudayaan, dan tanpa lingkungan alam. Bahkan mereka renggut gunung dan bukit."
Angawi, 64 tahun, mungkin terlalu romantis. Ia mungkin tak mau tahu hukum permintaan dan penawaran: jumlah orang yang pergi haji makin lama makin naik; perhitungan masa depan mendesak. Mekah harus siap. Tapi Angawi justru melihat di situlah perkaranya. Ia menyaksikan "lapisan-lapisan sejarah" Mekah dibuldozer dan dijadikan tempat parking
Akhirnya ia, yang lahir di Mekah, menetap di Jeddah, di rumah pribadinya yang direka bentuk dengan gaya tradisional Hijaz. Ketika Abraj al-Bait dibangun seperti Big Ben yang digembrotkan ("Meniru seperti monyet," kata Angawi), ia merasa kalah total. Ia lebih suka tinggal di Kairo.
Tapi bolehkah transformasi Mekah dicegah? Kapitalisma membuat sebuah kota seperti selonggok besi yang meleleh, untuk kemudian dituangkan dalam cetakan yang itu-itu juga. Dengan catatan: dalam hal Mekah, bukan hanya karena "komersialisasi Baitullah" kota suci itu hilang sifat uniknya. Angawi menyebut satu faktor tambahan yang khas Arab Saudi ialah anutan mereka.
Sekitar 300 bangunan sejarah telah diruntuhkan. Fahaman yang berkuasa di Arab Saudi ini hendak mencegah orang jadi "syirik" bila berziarah ke peninggalan Nabi, bila menganggap suci segala bekas yang ditinggalkan Rasulullah-dan sebab itu harus disembah.
Sejarah Arab Saudi mencatat dihapusnya peninggalan sejarah itu secara konsisten. April 1925, di Madinah, kubah di makam Al-Baqi'' diruntuhkan. Beberapa bagian kasidah karya Al-Busiri (1211–1294) yang diukir di makam Nabi ditutupi cat oleh penguasa agar tak bisa dibaca. Di Mekah, makam Khadijah rha., isteri Nabi, dihancurkan. Kemudian tempat di mana rumahnya dulu berdiri dijadikan tandas awam.
Contoh lain masih berderet, juga protes terhadap tindakan penguasa Saudi. Di awal 1926, di Indonesia berdiri "Jawatankuasa Hijaz" di kediaman KH Abdul Wahab Chasbullah di Surabaya, ekspresi keprihatinan para ulama.
Reaksi dari seluruh dunia Islam itu berhasil menghentikan pencerobohan itu. Tapi kini, di abad ke-21, Penguasa dan kapitalisme bertaut, dan Mekah berubah.
Mengherankan sebenarnya. Di sebuah tulisan dari tahun 1940 Bung Karno mengutip buku Julius Abdulkerim Germanus, Allah Akbar, Im Banne des Islams. Dari sana Bung Karno menggambarkan kaum Penguasa Saudi sebagai orang-orang yang dengan keras dan mencurigai "kemodernan"; mereka bahkan membongkar antena radio dan menolak lampu elektrik. Tapi kini, seperti tampak di kemegahan Abraj al-Bait, bukan hanya lampu elektrik yang diterima, tapi juga transformasi Mekah jadi semacam London & Las Vegas. Apa yang terjadi?
Mungkin sikap dasar Penguasa Saudi tak berubah. Menghapuskan kesan sejarah masa lalu, sebagaimana menidakkan masa depan, adalah sikap yang anti-Waktu. Jam besar di Abraj al-Bait itu akhirnya hanya menjadikan Waktu sebagai jarum besi. Benda mati. Dan bagi yang menganggap Waktu benda mati, yang ada hanya rumus-rumus ibadah tanpa proses sejarah.
Tapi apa arti perjalanan ziarah, tanpa menapak jejak sejarah dan meneliti yang pedih dan yang dahsyat di masa silam?
Mungkin hanya perkelahan segera berbentuk serba kemewahan.
(IRIB Indonesia / Tempo / SL)